Menurut data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang dirilis pada 2018, konsumsi daging pada masyarakat Indonesia pada 2017 baru mencapai rata-rata 1,8 kg untuk daging sapi, 7 kg daging ayam, 2,3 kg daging babi, dan 0,4 kg daging kambing.
Jumlah tersebut jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN lainnya, Indonesia jauh tertinggal. Mengacu pada data OECD dalam periode yang sama, negara tetangga seperti Malaysia tingkat konsumsinya mencapai 4,8 kg daging sapi, 46 kg daging ayam, 2,6 daging babi, dan 1 kg daging kambing. Sementara Filipina mencapai 3,1 kg daging sapi, 12,6 kg daging ayam, 15,4 kg daging babi, dan 0,5 kg daging kambing. Thailand angka konsumsinya mencapai 1,7 kg daging sapi, 14,5 daging ayam, dan 10,4 daging babi, sedangkan Vietnam tingkat konsumsinya 9,9 kg daging sapi, 13 kg daging ayam, 30,4 kg daging babi dan 1,7 kg daging kambing.
Rata-rata tingkat konsumsi daging di Indonesia juga masih jauh di bawah rata-rata tingkat konsumsi dunia yang mencapai 6,4 kg daging sapi, 14 kg daging ayam, 12,2 daging babi, dan 1,7 kg daging kambing. Tentu saja dengan rendahnya tingkat konsumsi daging ini juga berpengaruh pada rendahnya tingkat asupan protein hewani pada masyarakat Indonesia, terutama untuk golongan ekonomi menengah ke bawah.
Data Food and Agriculture Organization (FAO) menyebutkan bahwa tingkat konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia pada 2017 masih tertinggal dari negara-negara maju bahkan dengan beberapa negara ASEAN. Dari total konsumsi protein, konsumsi protein hewani Indonesia baru mencapai 8 persen, sementara Malaysia mencapai 30 persen, Thailand 24 persen, dan Filipina mencapai 21 persen. Padahal protein hewani merupakan sumber pangan yang sangat baik untuk masa pertumbuhan dan perkembangan anak-anak karena kandungan asam aminonya yang lengkap. Bahkan UNICEF (United Nation Childrens Fund) menegaskan bahwa perbaikian gizi yang didasarkan pada pemenuhan gizi protein hewan memiliki kontribusi 60% terhadap pertumuhan ekonomi negara maju
Anehnya, Indonesia adalah juara satu konsumsi rokok di negara kawasan ASEAN. Masyarakat Indonesia mengonsumsi rokok rata-rata 1.300 batang per kapita per tahun, namun hanya mengonsumsi 100an butir telur per tahun. Padahal harga sebatang rokok kurang lebih sama dengan sebutir telur ayam. Ini menunjukkan bahwa rendahnya konsumsi protein hewani bukan semata-mata karena rendahnya pendapatan melainkan karena kesadaran dan pemahaman mengenai gizi protein hewani yang masih minim.
1. Midola Nusantara Siahaan (Mahasiswa Universitas Padjajaran)
Permasalahan gizi buruk, stunting dan kelaparan masih saja menghantui masyakarat Indonesia. Menurut Dirjen PKH I Ketut Diarmita (waktu itu), tingkat konsumsi daging di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan tingkat konsumsi per kapita dari 4 negara Asean lain seperti Malaysia, Thailand, Philippina, dan Vietnam yang bersama Indonesia memiliki memiliki tingkat konsumsi daging mencapai 4,5 kg/kapita.
Konsumsi daging di Indonesia memang masih terbilang rendah. Padahal kandungan nutrisi pada daging sangat penting bagi manusia. Protein hewani memiliki banyak fungsi, diantaranya membantu dalam pembentukan sel otot, membentuk dan menguatkan sel jaringan baru, mendukung metabolisme tubuh, serta meningkatkan kekebalan tubuh. Namun, sebagian masyarakat memiliki persepsi bahwa daging merupakan barang yang relatif mahal. Daya beli masyarakat yang rendah masih menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi kita untuk menumbuhkan roda perekonomian. Masyarakat yang memiliki pendapatan menengah kebawah tak perlu khawatir. Mengkonsumsi protein hewani tak hanya melalui dari daging saja. Masyarakat dapat memilih daging, susu dan telur sebagai sumber protein hewani. Harapannya ke depan, semoga edukasi akan pentingnya menkonsumsi protein hewani lebih ditingkatkan dan meningkatkan hasil produksi ternak dalam negeri, menciptakan inovasi olahan produk ternak. Mari kita bersama-sama membangun ketahanan pangan Indonesia yang lebih baik.
2. Brigitta Novia Lumakso (Mahasiswa Universitas Padjajaran)
Novia mengatakan "Cara meningkatkan konsumsi protein hewani harus dimulai dengan pendekatan top down, yakni dibutuhkan sebuah acuan dasar yang bertujuan untuk mencapai peningkatan konsumsi protein hewani asal ternak. Maka, diperlukan roadmap jangka menengah yang detail dan terukur guna memandu perjalanan mencapai target tersebut. Adanya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 merupakan bentuk penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden Jokowi sebagai hasil Pemilu tahun 2019 lalu. Sementara itu, bunyi RPJMN yang disusun Bappenas di dalamnya disebutkan bahwa target konsumsi daging pada tahun 2020 yaitu 7,1 kg/kapita/tahun dan diharapkan meningkat menjadi 9,7 kg/kapita/tahun pada 2024 yang berarti dalam kurun waktu 5 tahun hanya meningkat 2.6 kg atau 0.52 kg/kapita/tahunnya".
"Hal inilah yang menjadi core issue. Target angka konsumsi tersebut terlalu kecil, dengan memanfaatkan segala sumber daya yang sudah ada disertai daya dukung wilayah, pemerintah harusnya optimis dan lebih berani dalam menentukan target peningkatan angka konsumsi protein hewani dan memasukkannya sebagai prioritas pembangunan. Sejalan dengan hal itu, maka prioritas tersebut akan menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan sejak level kementerian/lembaga dalam menyusun rencana strategis yang nantinya akan sangat berpengaruh pula dalam realisasinya hingga ke level daerah dalam menyusun arah pembangunan kewilayahan. Lebih jauh lagi, diharapkan RPJMN mampu menjadi penggerak bagi tiap elemen kehidupan masyarakat untuk berpartisipasi dalam meningkatkan produksi dan konsumsi protein hewani melalui makanan sehari-hari" ujar Novia.
3. Denis Agita Meilana (Presiden BEM Faakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman)
Indonesia sebagai negara agraris menyimpan berjuta potensi bahkan milyaran, tapi mengapa sampai saat ini masih jauh dari kemandirian mungkin jawabannya “belum dikembangkan dengan optimal". Oleh karena itu, perlu kerja kolektif dan peran dari berbagai elemen masyarakat baik itu peternak, stakeholder, akademisi, pengamat, mahasiswa, pengusaha dan berbagai instansi terkait untuk saling mendukung dan membantu peranannya dalam hal mewujudkan dan penyediaan kemandirian pangan nasional.
Pada dasarnya peran pemerintah kepada para peternak bukan hanya sebagai konseptor, eksekutor, atau regulator saja, akan tetapi juga sebagai fasilitator, motivator dan dinamisator untuk merealisasikan ketahanan pangan nasional dalam kesejahteraan dan kesetaraan hidup masyarakat indonesia. Peran serta yang perlu diupayakan juga adalah keberadaan kelompok peternak atau koperasi menjadi suatu kewajiban dalam mendistribusikan produksi ternak, dan kerjasama kemitraan antara pihak-pihak terkait perlu diperluas guna meningkatkan pembangunan sektor peternakan.
Oleh karena itu kekurangan produksi daging, telur dan barang produksi peternakan lainnya yang masih menjadi kendala bagi pemangku kepentingan karena aspek produksi, mekanisme pasar dan barang yang dihasilkan dan biaya produksi selama ini manjadi beban bagi pemangku kepentingan. Karena produksi dalam negeri sendiri masih sangat terbatas untuk mencukupi kebutuhan konsumsi nasional sehingga kita rentan terhadap impor pangan untuk konsumsi dalam negeri.
Protein hewani sangatlah penting untuk menjaga homeostatis tubuh dan pembangunan SDM Nasional secara visioner. Oleh karena itu, sistem peternakan nasional yang berintegrasi, kolektif, dan aksesible sangat diperlukan untuk menggenjot produksi serta olahan produk ternak untuk pemenuhan protein hewani asal ternak. Pemberdayaan peternak lokal, koperasi, dan ternak-ternak lokal maupun peranakan juga harus dioptimalkan secara konsisten agar swasembada pangan tak lagi sekedar fatamorgana, melainkan ujung jalan yang mampu kita gapai bersama-sama.
4. Dr. Ir. Elly Tugianti, MP. (Dosen Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman)
Mengingat kondisi sekarang dimana teknologi sudah sangat maju dan masyarakat pada umumnya sudah mempunyai telepon genggam sehingga arus informasi semakin cepat tersampaikan. Menurut pendapat saya untuk membuat masyarakat sadar bahwa konsumsi daging itu suatu keharusan karena tubuh kita butuh. Jika merasa daging sapi mahal kita bisa memilih alternatif daging lainnya seperti ayam dll yg terjangkau. Jika dibandingkan dengan harga pulsa yang mungkin 10 ribu satu Minggu, makan ayam 1/4 kg/minggu merupakan hal yang bisa terjangkau. Dan efeknya adalah untuk kesehatan dan mengurangi stunting serta kekerdilan. mensosialisasikannya melalui semua media sosial, siapapun yang baru membuka media sosial yang kebaca dulu adalah sosialisasi makan daging dan itu diputar berulang kali.
5. Didik Jaryanto (Universitas Papua)
"Kalau menurut saya perlu adanya peningkatan minat masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein asal hewani , yang kedua dibandingkan mengenai pendapatan perkpita kita memang masih jauh dibandingkan dengan negara negara lain. Sehingga mengakibatkan rendahnya minat masyarakat kita untuk membeli protein asal hewani" ujar Didik .
Penting untuk mengedukasi masyarakat. Ketika masyarakat Indonesia sadar akan pentingnya mengkonsumsi protein asal hewani diiringi peningkatan pendapatan perkapita di masyarakat kita kemungkinan besar kemampuan masyarakat kita untuk membeli daging akan meningkat m.
6. Irene Nenny L, SSi
Mencermati angka-angka yang memaparkan konsumsi protein hewani terutama daging di Indonesia yang berada di bawah rata-rata tingkat konsumsi dunia, membuat kita prihatin. Apakah penyebabnya? Apakah karena kurangnya daya beli masyarakat, selera masyarakat atau adakah penyebab yang lain? Tanpa mengabaikan penyebabnya, di bawah ini terdapat beberapa gagasan untuk meningkatkan konsumsi protein hewani di Indonesia.
A. Sosialisasi.
Tingkat pendidikan di Indonesia masih cukup rendah dan belum merata. Pengetahuan terbatas dan kurang luas. Ketidakpedulian akan kesehatan dan gizi. Ketiga hal tersebut mendasari perlu adanya sosialisasi yang intensif untuk membangun dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan yang bergizi, termasuk protein hewani untuk menunjang tumbuh kembang anak dan kesehatan masyarakat.
B. Menambah sentra-sentra peternakan.
Peternakan yang ada di Indonesia masih terpusat di daerah-daerah tertentu, belum tersebar secara merata. Hal ini berimbas pada harga pasar yang cukup tinggi, terutama di daerah yang jauh dari peternakan karena ditumpangi ongkos transportasi yang berlipat ganda. Akibatnya, harga produk peternakan tidak terjangkau oleh masyarakat.
C. Meningktkan produksi peternakan.
Adanya berbagai kemudahan mulai dari tingkat pengadaan ternak, pemeliharaan hingga pemasaran yang kesemuanya dapat memangkas ongkos produksi.
D. Meningkatkan daya beli masyarakat.
Hal ini berkaitan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang perlu lebih ditingkatkan dengan berbagai cara
7. Prof Mulyoto Pangestu
Pamahaman masyarakat tentang protein hewani masih terpaku pada daging, telur dan susu dan semuanya dalam keadaan segar. Padahal produk-produk tersebut bukanlah produk yang tahan lama dan mudah rusak apabila disimpan di suhu ruangan. Akibatnya harga cenderung fluktuatif bahkan mahal yang berakibat pada tidak mampunya sebagian masyarakat untuk membeli produk hewani tersebut. Ketidak mampuan untuk membeli juga berakibat tidak tercukupinya konsumsi protein hewani dalam anggota keluarganya.
Padahal di luar itu banyak sekali produk hasil olahan yang berasal dari produk hewan yang juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani. Produk olahan atau awetan ini sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai penyangga untuk menjaga harga produk produk hewani sehingga harganya tetap terjangkau oleh segala lapisan masyarakat.
Oleh karena itu, perlu pemahaman yang baru bagi masyarakat bahwa produk hasil olahan tersebut juga merupakan sumber protein hewani.***
Penulis: Roni & Fajar
Editor : Bams
Ilustrasi : Bams
0 Komentar
Jika kesulitan posting komentar via hp harap menggunakan komputer