Hetty, Sang Panglima Dayak


Purwokerto, Kafapet-unsoed.com. Kisah kepahlawanan seorang panglima biasanya didominasi oleh pria. Mereka biasanya tampil gagah perkasa dengan berbagai pernak pernik perang seperti pedang, tombak, tameng, dan lain sebagainya. Tapi tidak untuk tokoh yang satu ini, namanya Hetty, nama panjangnya Hetty Kus Endang (34 tahun), mirip dengan nama penyanyi terkenal di era 80-an, ungkap alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unsoed angkatan 1995 Suroto selesai bincang-bincang jarak jauh dengan Ir.H.Alief Einstein,M.Hum. dari kafapet-unsoed.com

Hetty, ibu dua anak ini bertubuh mungil, tapi apa yang dilakukan sungguh sangat besar artinya bagi orang Dayak. Suku yang menghuni pulau Kalimantan ini. Hetty tak hanya telah turut selamatkan warisan budaya nenek moyangnya seperti tenun Dayak yang terkenal dengan nama kain Pantang dan karya karya lainya yang bernilai artistik dan spiritual tinggi, tapi juga telah memberi nilai manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat Dayak, kata Suroto (Manajer Boersa Kampus / Ritel di Purwokerto).

Beberapa waktu lalu, di bawah supervisinya, kain tenun Pantang bahkan telah dibuatnya mengguncang dunia dengan masuk sebagai pakaian resmi yang dipakai pemimpin pemimpin seluruh negara dalam acara World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali. Dengan seluruh daya, Hetty kerahkan ratusan perempuan Dayak untuk hasilkan kain tenun untuk penuhi permintaan Pemerintah dalam forum pertemuan WWF tersebut, jelas Suroto (Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis / AKSES).

"Hetty tidak menduga sebelumnya kalau tenun Pantangnya dipilih sebagai pakaian resmi yang dipakai presiden dan pemimpin pemimpin dunia itu. Bahkan Hetty sangat kawatir tidak dapat memenuhi permintaan mengingat standard kualitas, waktu yang sangat singkat itu dapat memenuhinya. Apalagi permintaannya sangat khusus dibuat lebih panjang dari yang biasanya dibuat oleh para penenunnya", ungkap Suroto mengenang saat-saat menegangkan itu. 

Kecintaan Hetty pada tenun dan kriya Dayak warisan nenek moyangnya ini memang sudah sejak lama, namun usahanya untuk mengembalikan kebanggaan anak-anak muda pada hasil kriya Dayak dan sekaligus berdayakan ekonomi para artisannya terinspirasi saat Hetty bertugas di lapangan dalam program Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan (PSP3) di Lasem, Pati, Jawa Tengah setelah Hetty lulus dari Univesitas Satya Wacana, Salatiga, jelas Suroto yang juga penulis buku " Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme".

"Hetty terus terang terinspirasi dengan Batik Lasem, bagaimana industri rumahan yang jumlahnya terbatas itu bisa menghidupi keluarga dan ciptakan peminatnya" ujar Suroto.

Menurut Suroto, Hetty, yang berasal dari Sintang, Kalimantan Barat dan keturunan sub-suku Dayak Uud Danum ini setelah bekerja di Jawa terpaksa harus kembali ke Kalimantan karena harus merawat orang tuanya yang sakit. Setelah itu Hetty mulai dari nol lagi dengan bekerja di satu perusahaan karet. Di saat bekerja di perusahaan karet ini hatinya mulai terketuk melihat nasib anak-anak muda Dayak. 

"Hetty lihat anak-anak muda Dayak hanya bekerja jadi buruh di kebun karet dan sawit dengan gaji yang rendah. Tidak ada pekerjaan lainnya, mereka susah mencari pekerjaan karena pendidikannya juga rendah. Hettty ingin ada perubahan" tukas Suroto.

Hetty kemudian keluar dari tempat kerja lamanya, dan melamar pekerjaan baru di bank dan Credit Union/CU (Koperasi Kredit). Namun Hetty menjatuhkan pilihan bekerja di CU Keling Kumang karena informasi yang didapat dari seniornya di organisasi Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) menurutnya CU lebih tepat baginya karena ada kegiatan pemberdayaanya, ujar Suroto (CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat/INKUR yang anggotanya Koperasi Kredit Kumang).

Di CU lah Hetty merasa mendapatkan lembaga yang pas untuk mengembangkan idealisme pemberdayaan bagi masyarakat. Dari CU Hetty belajar banyak tentang manajemen, membangun jaringan kerja, dan bahkan mendapatkan modal awal untuk memulai usaha, ujar Suroto.

Di CU Hetty bertemu banyak orang yang memiliki visi yang sama untuk pemberdayaan masyarakat. Sebut saja misalnya Yohanes RJ, CEO CU Keling Kumang yang telah banyak membimbingnya sebagai staf. Kemudian Munaldus Nerang, sebagai pendiri CU Keling Kumang, kata Suroto.

"Pak Munal telah memberikan inspirasi bagi Hetty, bagaimana 32 tahun silam dia bangun gerakan CU Keling Kumang dan ciptakan banyak pekerjaan yang layak bagi orang Dayak. Hetty anggap apa yang Hetty lakukan ini juga hal yang sama, sebagai gerakan, sebab tenun dan pelestarian budaya itu tidak dapat dikerjakan sendiri", tegas Suroto.

Suroto menjelaskan bahwa kecintaan Hetty pada wastra Dayak ini sesungguhnya sudah sejak lama. Dia sering menjualnya dengan bangga kepada teman-temannya untuk oleh-oleh dari Sintang. Hetty berfikir jika dipasarkan dengan serius Hetty yakin akan dapat memberikan nilai tambah ekonomi bagi banyak keluarga. Lalu dengan modal yang terbatas dan juga karena kebetulan mertua perempuanya juga seorang penenun maka Hetty mulailah yakin bahwa Hetty bisa mengembangkan usahanya dengan aktif memasarkan di media sosial. 

Mendapat dukungan dari lembaga seperti CU, mertua, dan juga suaminya, Hetty beranikan membeli rumah milik keluarganya pada waktu itu. Di rumah itu dia bangun galeri untuk pajang kain pantang, pakaian menjahit, penyewaan dan operasional yayasannya rumah belajar Kain Pantang yang mengenalkan terutama kepada anak-anak untuk memproses kain pantang, teknik pewarnaan, dan kegiatan pelestarian budaya Dayak, ungkap Suroto.

Sepuluh tahun lalu menurut Hetty, anak-anak muda tidak ada yang tertarik lagi dengan tenun pewarnaan alami dan mereka menganggap kuno. Padahal pewarnaan alami itu menurutnya bukan hanya lebih ramah lingkungan, tapi aman untuk kulit, tapi juga penting untuk kegiatan pelestarianya. Sebut saja misalnya pohon Engkerebang yang multiguna, sebagai obat tradisonal. "Kalau diminum saja aman, tentu dipakai juga aman", tutur Suroto. 

Cita-cita Hetty yang sesungguhnya adalah ingin melestarikan budaya Dayak dan bagaimana usaha pelestarian budaya itu juga mampu mengangkat harkat dan martabat orang Dayak dan sekaligus selamatkan lingkungan, kata Suroto.

Suroto menambahkan bahwa Hetty ingin anak-anak muda Dayak melihat Engkerebang, pohon lengkar, pohon mangga" pungkasnya.



Penulis     : Ir. Alief Einstein, M.Hum

Foto           : Ir. Alief Einstein, M.Hum

Posting Komentar

0 Komentar