Pagi ini, tetiba saya diingatkan kembali pada sosok hebat sejak saya duduk di bangku kuliah. Namanya Prof. Soedito Adjisoedarmo, M.Agr.Sc., atau kami di Fapet Unsoed memanggilnya pak Dito.
Sesungguhnya saya tidak akan pernah bisa melupakan beliau sepanjang hidup saya. Semasa beliau sehat, setidaknya sebulan sekali saya sempatkan bertelepon dengan beliau, sekadar bertanya kabar.
Beberapa bulan belakangan, saya mendengar kabar beliau sakit, dan beberapa panggilan telepon saya pun tidak berjawab. Terakhir, -seusai hari raya, saya mendatangi rumah beliau di kawasan Kober.
Saya tidak kuasa menahan tangis. Sosok gagah yang ‘ditakuti’ banyak mahasiswa dan dosen, terbujur lemah tanpa daya di atas dipan sederhana. Hanya nafas yang menandakan kehidupan. Ternyata itu adalah pertemuan kami yang terakhir.
Pagi ini, pak Alief Einstein mengabari kepergian beliau. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Ikut berduka cita. Semoga Allah ridha atas beliau.
Lebih dari tiga puluh tahun yang lalu, dalam posisi sebagai mahasiswa Fakultas Peternakan Unsoed, saya punya keinginan untuk mengenal lebih dekat masyarakat tempat kami mengabdi setelah selesai kuliah: masyarakat desa.
Jadi, ketika salah satu dosen favorit, - yang kemudian menjadi salah satu pembimbing penelitian dan penulisan skripsi saya, Prof. Soedito Adjisoedarmo, menawarkan kepada sejumlah mahasiswa untuk ikut turun ke desa (beliau pernah menjadi konsultan pengembangan peternakan di kawasan Gunung Kidul).
Saya menyambutnya. Bukan cuma ikut-ikutan, tapi beneran ikut bekerja. Sampai beneran pernah begadang (dan tidak tidur lebih dari 24 jam) untuk nungguin domba beranak. Itulah persinggungan saya pertama dengan pak Dito.
Zaenal Abidin |
Berangkat dari Purwokerto dengan kendaraan minibus Mitsubishi tiga berlian hari Jumat sore, pulangnya hari Minggu jelang tengah malam. Sesekali nyambi juga jadi supir.
Sebuah pengalaman berharga bisa ikut kuliah di luar jam kuliah resmi, praktek lapangan yang ternyata, waktu itu pun tidak terlalu diminati.
Entah karena mahasiswa lebih tertarik dengan kegiatan ekskul yang lain, atau ngeri dengan tongkrongan dosen ‘killer’ (begitu setidaknya kesan yang saya tangkap) seperti pak Dito.
Tapi bagi saya, beliau adalah guru sekaligus sahabat. Kami banyak diskusi dan jarang yang tahu, - kami kerap bertukar novel Alfred Hitchkock, Agatha Christie dan Sidney Sheldon.
Resminya, pak Dito adalah pembimbing penelitian dan skripsi saya. Tapi sesungguhnya beliau adalah orang yang banyak membentuk kepribadian saya. Watak keras, disiplin dan tanpa kompromi, betul-betul menitis pada saya.
Mungkin berbeda dengan banyak orang lain yang mengenalnya, beliau menunjukkan dukungan penuh kepada saya, dan kemudian juga, istri saya. Saat saya maki dalam kontestasi mahasiswa berprestasi di Jakarta, support beliau full.
Bahan presentasi saya dibuat dengan komputer beliau, dan sangat bagus. Saat komputer masih langka, bahan presentasi itu menyita perhatian para juri dan memberikan presentasi itu sebagai presentasi terbaik.
Saya lulus tercepat di Fapet Unsoed, setidaknya di angkatan saya, juga atas andil beliau.Tidak berhenti sampai di situ, setelah lulus pun saya masih berkontak dengan beliau. Bahkan beliau adalah saksi pernikahan kami, saya dan istri saya Utari Widowati.
Selamat jalan, pak Dito. Semoga kebaikan dan ridhaNya menyertai perjalanan bapak menuju hadiratNya.
Bandung, 7 Agustus 2024
Penulis : Zaenal Abidin
Foto : Zaenal Abidin
0 Komentar
Jika kesulitan posting komentar via hp harap menggunakan komputer