![]() |
Dr.Ir. Sachrul Iswahyudi, ST., MT. (Sekretaris Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Unsoed dan Anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia / IAGI). |
Purwokerto, Kafapet-Unsoed.com. Ada satu fenomena menarik sebelum diskusi lebih jauh mengenai proses pembentukan daratan yang saat ini diduga meliputi wilayah Kabupaten Demak, Kudus, Pati, dan Rembang, yang menurut beberapa sumber informasi merupakan bekas Selat Muria. Pada masa Kesultanan Demak hingga tahun 1650-an, kapal-kapal laut masih dapat melintasi Selat Muria, mengingat Demak saat itu merupakan kota pelabuhan penting, berbeda dengan kondisi saat ini dimana Demak terletak puluhan kilometer dari garis pantai. Meskipun dilaporkan terjadi pendangkalan pada tahun 1650-an, proses pembentukan daratan dari tahun 1650-an hingga sekarang (rentang waktu sekitar 300-400 tahun) perlu ditelaah lebih rinci, mengingat proses sedimentasi alami umumnya memerlukan waktu ribuan bahkan jutaan tahun untuk membentuk daratan yang luas (jika kita mengambil contoh pembentukan daratan Delta Mahakam, Kalimantan Timur). Tetapi memang kecepatan sedimentasi untuk membentuk daratan akan sangat bervariasi antara satu lokasi dengan lokasi lain, tergantung kondisi spesifik lokasi tersebut, ada yang sangat lambat ada yang relatif cepat. Ada kemungkinan bahwa sebagian daratan tersebut telah terbentuk sebelumnya, dan yang dimaksud sebagai "Selat Muria" dalam catatan sejarah mungkin merujuk pada area atau luasan yang lebih terbatas. Pemahaman yang lebih mendalam tentang luasan dan proses pembentukan daratan dari bekas Selat Muria ini penting untuk perencanaan dan mitigasi wilayah pesisir di masa mendatang, mengingat kawasan ini masih terus mengalami dinamika geologi dan perubahan lingkungan serta pembangunan. Diperlukan penelitian lebih banyak lagi untuk mengungkap bagaimana sebenarnya kondisi Selat Muria pada masa lampau dan bagaimana proses pembentukan daratan tersebut berlangsung dari data lapangan, serta kemungkinan pembentukan kembali Selat Muria. Pemaparan singkat ini disusun berdasarkan informasi dari beberapa media online dan artikel ilmiah terkait, ungkap dosen Teknik Geologi Fakultas Teknik Unsoed Dr., Ir., Sachrul Iswahyudi, ST., MT. saat pemaparan yang di pandu Ir., H., Alief Einstein, M.Hum., dari kafapet-unsoed.com pada hari Rabu 02 April 2025.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap dan akurat, diperlukan penelitian lebih lanjut dan lebih banyak lagi, ujar Dr. Sachrul (sapaan akrab Dr., Ir., Sachrul Iswahyudi, ST., MT).
Tinjauan Historis-Geologis
Kawasan Selat Muria menurut Dr. Sachrul (Dosen Pengajar Mata Kuliah Geokimia, dan Pengetahuan Lingkungan di Fakultas Teknik Unsoed) memiliki peranan penting dalam sejarah maritim Indonesia, terutama selama masa Kesultanan Demak. Pelabuhan-pelabuhan di sepanjang selat ini, seperti Demak dan Jepara, berfungsi sebagai pusat perdagangan yang menghubungkan komoditas dari daerah pegunungan dengan jalur perdagangan internasional, termasuk Malaka. Para pedagang memanfaatkan selat ini untuk mengangkut berbagai hasil bumi, termasuk rempah - rempah dan kayu jati berkualitas tinggi. Demak, sebagai kesultanan Islam pertama di pulau Jawa, tidak hanya berperan dalam penyebaran agama Islam tetapi juga dalam pengembangan perdagangan maritim, menjadikannya sebagai pusat strategis pada masanya. Hal ini sejalan dengan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Demak berfungsi sebagai penghubung utama dalam jalur perdagangan yang mengalir dari barat ke timur Indonesia, yang semakin menguatkan posisi Selat Muria dalam konteks sejarah maritim Nusantara seperti yang ada pada publikasi Zuliani Putri (2019).
Dr. Sachrul yang juga Anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) menjelaskan bahwa proses sedimentasi yang terjadi di Selat Muria berlangsung secara bertahap dan kompleks. Sungai - sungai seperti Sungai Tuntang, Sungai Lusi, dan Sungai Buyaran membawa material sedimen yang terendapkan di kawasan selat. Kondisi arus yang relatif tenang karena terlindung oleh Gunung Muria mempercepat proses pengendapan ini. Akibatnya, sekitar tahun 1650-an selat ini mulai mengalami pendangkalan yang signifikan hingga akhirnya membentuk daratan yang kini diduga menjadi sebagian wilayah Kabupaten Demak, Kudus, Pati, dan Rembang.
Selanjutnya Dr. Sachrul (Sekretaris Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Unsoed) mengatakan bahwa selain litologi gunung api, Perbukitan Patiayam, yang terletak di Kaki Selatan Gunung Muria, juga menyimpan catatan paleontologis yang sangat berharga berupa fosil vertebrata dan avertebrata. Berdasarkan informasi pada situs berita Santri Indonesia (2024) ditemukan beragam fosil vertebrata seperti kerbau purba, banteng, keluarga babi hutan, gajah purba, kuda nil, harimau, dan penyu. Selain itu juga ditemukan fosil avertebrata dari kelas moluska. Temuan fosil-fosil ini memberikan gambaran tentang keanekaragaman fauna yang pernah hidup di kawasan tersebut pada masa lampau. Data stratigrafi menunjukkan bahwa Formasi Patiayam tersusun dari perselingan batupasir tufan dan konglomerat tufan dengan sisipan batu lempung, batugamping, dan breksi yang mengindikasikan lingkungan pengendapan marine hingga darat.
Catatan Sejarah Selat Muria
Dr. Sachrul menjelaskan bahwa keberadaan Selat Muria di masa lalu didukung oleh berbagai informasi sejarah dan geologi. Selat ini memisahkan Pulau Muria dengan daratan utama Pulau Jawa, dengan Pegunungan Kendeng di selatan dan Gunung Muria di utara. Dalam artikel ilmiah yang ditulis oleh Bronto dan Sri Mulyaningsih pada tahun 2007, dijelaskan bahwa di Semenanjung Muria ditemukan beberapa gunung api maar. Gunung api maar ini terbentuk akibat interaksi antara magma dengan air bawah permukaan (belum tentu air laut, bisa juga air tanah bawah permukaan) dan batuan dasar karbonat. Keberadaan batuan karbonat tersebut mengindikasikan bahwa kawasan ini dulunya merupakan lingkungan laut, pada saat batuan karbonat tersebut terbentuk, yaitu pada masa mio-pliosen atau jutaan tahun yang lalu.
Menurut catatan sejarah yang dilansir oleh media Santri Indonesia (2024), Pada masa Kerajaan Demak, terdapat Selat Muria yang memisahkan kawasan Gunung Muria dan Pulau Jawa saat itu yang memiliki fungsi strategis dengan adanya galangan kapal jung Jawa. Para tukang kayu Jawa yang terampil tidak hanya bekerja di galangan lokal tetapi juga hingga ke Malaka. Kapal-kapal dagang Jawa menguasai jalur rempah dari Maluku ke Malaka melalui selat ini. Selat ini juga menjadi tempat pengumpulan komoditas dari Pulau Muria dan Pegunungan Kendeng, dengan Demak dan Jepara yang berada di barat daya Pulau Muria berkembang menjadi pelabuhan utama, kawasan ini merupakan pusat maritim yang sangat penting pada masanya, kata Dr. Sachrul.
Berdasarkan catatan sejarah yang dilansir Santri Indonesia juga, sekitar pertengahan abad ke-17 atau tahun 1650-an, selat ini sudah mulai mengalami pendangkalan yang cukup parah. Meskipun saat itu kapal-kapal masih bisa melintas, kondisi selat semakin memburuk. Dua tahun kemudian, seorang pejabat bernama Tumenggung Natairnawa mengusulkan untuk melakukan pengerukan selat. Namun upaya tersebut tidak berhasil mengatasi masalah pendangkalan, dan pada akhirnya selat ini tidak lagi bisa dilalui oleh kapal - kapal besar, ungkap Dr. Sachrul.
![]() |
Dr.Ir. Sachrul Iswahyudi, ST., MT. (Sekretaris Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Unsoed dan Anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia / IAGI). |
Proses Geologis Pembentukan Daratan
Proses pembentukan daratan di bekas Selat Muria diperkirakan terjadi melalui proses pengendapan material yang kompleks dan panjang. Berdasarkan artikel ilmiah yang ditulis oleh Novita dan tim pada tahun 2010, terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan pendangkalan selat ini. Faktor pertama adalah pengendapan material dari sungai-sungai seperti Sungai Tuntang, Sungai Lusi, dan Sungai Buyaran yang membawa material dan pasir dari daerah hulu. Faktor kedua adalah proses interaksi antara aliran sungai dengan air laut yang menghasilkan endapan di muara sungai, ujar Dr. Sachrul.
Proses sedimentasi dipercepat oleh kondisi arus yang relatif tenang karena Gunung Muria berperan sebagai pemecah gelombang alami. Proses sedimentasi intensif ini menghasilkan endapan yang terus terakumulasi di area yang terlindung dari energi gelombang dari laut terbuka di utara Gunung Muria, hingga akhirnya membentuk daratan baru. Namun perlu dicatat bahwa area yang mengalami pendangkalan dan berubah menjadi daratan pada periode tersebut kemungkinan hanya mencakup sebagian kecil dari dataran rendah yang saat ini membentang di antara Kabupaten Demak, Kudus, Pati, dan Rembang. Sebagian besar dataran rendah tersebut mungkin telah terbentuk jauh sebelumnya melalui proses geologi yang lebih lama dan panjang, jelas Dr. Sachrul.
Berdasarkan peta geologi yang dibuat oleh tim geologi Suwarti dan Wikarno (1992) serta Kadar dan Sudijono (1993), daratan yang sekarang diduga merupakan bekas Selat Muria tersusun Atas endapan dan pasir yang dibawa oleh sungai, bukan dari material letusan Gunung Muria. Ini menunjukkan bahwa daratan tersebut terbentuk melalui proses pengendapan material dari proses aliran air dan dapat juga dipengaruhi oleh air laut karena dekat dengan laut. Jadi, "Selat Muria" yang disebutkan dalam catatan sejarah kemungkinan hanya merujuk pada bagian yang masih bisa dilayari kapal pada masa itu, bukan seluruh dataran rendah yang sekarang memisahkan Gunung Muria dengan Pulau Jawa. Untuk memahami lebih detail bagaimana dan kapan material endapan ini terbentuk, serta mengungkap seberapa luas sebenarnya Selat Muria pada masa lalu, diperlukan penelitian geologi yang lebih mendalam di wilayah ini, kata Dr. Sachrul.
Kondisi Geologi saat ini terkait kemungkinan munculnya kembali Selat Muria
Kondisi geologi saat ini menunjukkan adanya fenomena penurunan permukaan tanah yang signifikan di wilayah pesisir utara Jawa, termasuk kemungkinan kawasan yang diduga bekas Selat Muria. Berdasarkan informasi terkini, penurunan tanah di wilayah Semarang timur mencapai intensitas tertinggi hingga 10 sentimeter per tahun (berdasarkan laporan CNBC Indonesia, 23 Maret 2025). Fenomena ini kemungkinan disebabkan oleh dua faktor utama: faktor alami dan aktivitas manusia, jelas Dr. Sachrul.
Selanjutnya Dr. Sachrul mengatakan faktor alami yang menyebabkan penurunan tanah, meliputi karakteristik tanah sedimen muda yang secara alami dapat mengalami penurunan karena proses pemadatan untuk jangka waktu yang lama, terlepas ada atau tidaknya aktivitas manusia. Kondisi ini juga terjadi di daerah pesisir Utara Jawa, seperti Semarang dan sekitarnya (menurut penelitian Mous dan Tim tahun 2024). Sementara faktor yang disebabkan manusia juga berperan penting, terutama pengambilan air tanah berlebihan yang dapat menyebabkan penurunan tanah secara signifikan, serta beban bangunan dan infrastruktur yang menambah penurunan secara bertahap. Patahan Tempur dan Rahtawu (menurut penelitian Koesuma dan tim tahun 2021), meski lokasinya jauh dari area yang diduga bekas Selat Muria, sehingga kecil kemungkinan menyebabkan penurunan tanah secara langsung, namun sebagai patahan aktif, patahan - patahan tersebut berpotensi mengaktifkan kembali patahan-patahan tua yang tertutup endapan aluvial di sekitar bekas Selat Muria yang dapat memicu penurunan permukaan tanah.
Dr. Sachrul menjelaskan bahwa terkait banjir yang sering melanda pesisir utara Pulau Jawa dan kawasan ini, selain bisa menggenangi area tertentu, bisa juga malah menambah ketinggian daratan melalui proses sedimentasi. Material yang dibawa oleh sungai-sungai dari Muria dan wilayah selatan mengendap di pesisir utara Pulau Jawa, menyebabkan pendangkalan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Andari dan tim tahun 2023, perubahan iklim dapat menyebabkan kenaikan permukaan air laut. Saat kenaikan permukaan air laut dikombinasikan dengan penurunan permukaan tanah yang terus berlanjut, akan berpotensi menggenangi daerah-daerah tertentu yang sebelumnya daratan, dan mengubah kondisi geografis kawasan ini di masa mendatang. Pola pasang surut di kawasan ini memiliki karakteristik yang unik dan kompleks yang mempengaruhi dinamika air laut di wilayah tersebut, yang dapat mempengaruhi bagaimana air laut bergerak, mengalir dan berinteraksi dengan daratan.
Dr. Sachrul menambahkan bahwa :
● Pertama, kawasan bekas Selat Muria saat ini menghadapi tantangan serius terkait penurunan permukaan tanah dan potensi genangan akibat kenaikan muka air laut. Meski banjir yang terjadi membawa sedimentasi yang dapat meninggikan daratan, namun laju penurunan tanah yang tinggi di beberapa lokasi menjadi ancaman tersendiri. Faktor antropogenik, terutama eksploitasi air tanah berlebihan, menjadi salah satu penyebab utama percepatan penurunan tanah ini.
● Kedua, terbentuknya kembali Selat Muria (walaupun kecil kemungkinannya, atau hanya meliputi area atau luasan yang sangat terbatas) memiliki potensi positif dan negatif. Dari sisi positif, jalur pelayaran baru dapat membangkitkan kembali aktivitas maritim dan ekonomi di kawasan tersebut seperti di masa lalu. Namun dampak negatifnya juga ada yaitu hilangnya pemukiman dan lahan pertanian produktif, terganggunya infrastruktur vital, serta potensi intrusi air laut yang lebih luas.
● Ketiga, untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi yang komprehensif. Pembatasan pengambilan air tanah dan pengembangan sumber air alternatif harus menjadi prioritas. Perencanaan tata ruang juga perlu mempertimbangkan potensi perubahan geografis di masa depan.
● Keempat, sejarah Selat Muria memberikan pembelajaran berharga tentang dinamika wilayah pesisir. Perubahan bentang alam yang terjadi sepanjang masa menunjukkan bahwa kawasan pesisir bersifat dinamis dan rentan terhadap perubahan, dan aktivitas manusia akan mempercepat perubahan tersebut secara signifikan. Pengelolaan wilayah pesisir ke depan harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan keseimbangan antara pembangunan dengan pelestarian lingkungan. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dan akurat tentang dinamika kawasan ini, diperlukan studi dan penelitian lebih lanjut yang lebih rinci untuk melengkapi data dan analisis yang sudah ada saat ini.
Saat Dr. Sachrul pemaparan menggunakan sumber - sumber informasi seperti tercantum di bawah ini, selain juga yang telah disebutkan pada saat pemaparan:
• Andari, L., Sugianto, D. N., Wirasatriya, A., dan Ginanjar, S. (2023). Identification of Sea Level Rise and Land Subsidence Based on Sentinel 1 Data in the Coastal City of Pekalongan, Central Java, Indonesia.
• Bronto, S., dan Sri Mulyaningsih, D. (2007). Gunung api maar di Semenanjung Muria.
• CNBC Indonesia. (2025). Selat Muria Muncul Lagi Usai Lenyap 300 Tahun, Apa yang Terjadi?
• Koesuma, S., Sibarani, F. H., dan Legowo, B. (2021). Identifikasi Struktur Sesar Gunung Muria Menggunakan Data Satelit Gravitasi.
• Marshall, N., Novak, V., Cibaj, I., Krijgsman, W., Renema, W., Young, J., Fraser, N., Limbong, A., dan Morley, R. (2015). Dating Borneo’s Deltaic Deluge: Middle Miocene Progradation Of The Mahakam Delta.
• Marzia, R. V., G, L. S., Cornel, O., dan L, C. F. (2023). Straits and seaways: controls, processes and implications in modern and ancient systems.
• Mous, T., Veen, B. van, Oost, R., Akmalia, R., Dam, R., Handayani, W., Essink, G. O., dan Minderhoud, P. S. J. (2024). Explaining land subsidence variation along the north coast of Java for Semarang and Pekalongan, Indonesia.
• Novita, D., Utami Agustiani, I., Hendratno, A. (2010). Tinjauan Awal: Sedimentasi di Selat Muria Sebagai Salah Satu Penyebab Mundurnya Kerajaan Demak.
• Putri, Z. (2021). Sejarah Kesultanan Demak: Dari Raden Fatah Sampai Arya Penangsang.
• Santri Indonesia. (2024). Bukti Gunung Muria Dulu Dipisah Selat dari Pulau Jawa.
• Suwarti, T. dan Wikarno, R. (1992). Peta Geologi Lembar Kudus, Jawa Tengah.
• Kadar, D. dan Sudijono. (1993). Peta Geologi Lembar Rembang, Jawa Tengah.
Penulis : Ir. Alief Einstein, M.Hum
Foto : Ir. Alief Einstein, M.Hum
0 Komentar
Jika kesulitan posting komentar via hp harap menggunakan komputer